Lanjut ke konten

Kisah Sempurna tentang Ketidaksempurnaan

14 Juni 2015

It takes a village to raise a child” adalah peribahasa Afrika yang diadopsi oleh Hillary Rodham Clinton untuk menjadi judul buku yang ditulis dan dirilis pada tahun 1996. Seorang anak bertumbuh tidak hanya dalam pengasuhan sepasang orang tua atau di sebuah rumah, namun di sebuah komunitas.

Judul buku dan peribahasa itu menyeruak begitu saja di ingatan sunyi gue tatkala terbunuhnya Angeline, 8 tahun, membahana di media massa dan media sosial. Sepertinya ada eforia di media massa dan media sosial untuk mewartakan peristiwa tersebut. Beramai-ramai orang menyampaikan rasa duka mendalam dan mengutuk pelakunya yang kejam. Siapa pelakunya?

Orangtua

Ya, orangtua adalah pelaku pertama. Mereka adalah mahluk yang bertanggungjawab untuk menghadirkan anak itu di dunia ini namun ternyata tidak mampu untuk membesarkannya. Entah karena persoalan ekonomi, psikologi, sosial, dll. Karena kata teman yang pro-life, “karena aborsi bukanlah solusi yang tepat”, maka gue (yang sok-sok pro-life juga) akan mengatakan, “oleh sebab itu pikir dari awal!” Mendukung kehidupan juga harus dengan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran. Karena pada akhirnya, apa bedanya membunuh ‘sebuah’ janin dengan ‘seorang’ anak di kemudian hari kelak?

Tetangga

Sejujurnya sih gue nggak pernah (karena tidak mau) menyimak pemberitaan tindak pidana ini. Namun karena kepo, gue sekilas mengecek (karena istilah riset terlalu cihuy kesannya) apa pendapat para tetangga. Gue temukan bahwa tetangga menyesalkan dan menuntut pelaku dihukum seberat-beratnya. Helo, kemana saja kalian selama ini? Apakah rumah dan halaman tempat tinggal si anak demikian luasnya sehingga kalian tidak mendengar, melihat, mengetahui apa yang terjadi di rumah sebelah? Eh, tampaknya gue menggunakan perspektif kampung gue di Jakarta, dimana tetangga mandi aja gue bisa tau!

Sekolah

Sahibul hikayat, gurunya pun tau bahwa anak ini kurang terawat. Mereka kerap atau beberapa kali lah memandikan si anak di sekolah karena aromanya yang tidak sedap. Konon pula, ada bekas-bekas penganiayaan di tubuh anak ini. Dan saat mengetahui si anak telah meninggal, para guru histeris. Helo, kemana saja kalian selama ini? Okey kalian telah baik hati memandikan si anak, namun terus apa? Nampaknya para guru, dan juga tetangga, dan juga masyarakat Indonesia lainnya, harus mulai melek hukum terutama Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahunnya lupa (yang ternyata sudah ada revisinya) dan hukum pidana delik aduan. Karena jika mereka mengetahui adanya tindak pidana namun tidak melaporkan, maka mereka dapat terkena pasal keturutsertaan (sambil ingat-ingat pelajaran pak Djisman, betul gak ya opini gue ini…)

Gue

Karena masih lekang dalam ingatan gue kasus Ari Hanggara (ada patungnya segala, bukan?!), kasus baru-baru ini tentang penelantaran anak oleh ayahnya yang dosen (dosen, bo!), dan sebenarnya paham bahwa masih banyak kasus penelantaran anak lainnya, tapi gue juga cuek saja dan lebih senang menyalahkan orang lain.

Masyarakat

Karena masyarakat senang menyimak berita kekerasan ini, menyebarkannya dengan gempita di media sosial (lengkap dengan foto saat jenazah ditemukan – yang kalok bisa close up-no filter-jeder!), dan menggosipkannya ke sesama kawan sambil menggeleng-gelengkan kepala dan mengucap, “kasihan ya…”, lalu dengan nada segeram-geramnya berkata, “pelakunya harus dihukum seberat-beratnya!”.

Dan dalam tempo hitungan hari semua orang serta media massa akan melupakannya. Ketika keprihatinan berhenti di kata “kasihan”, orang-orang kembali memproduksi (atau mengadopsi) anak yang tidak bisa mereka besarkan dengan layak, tetangga kembali pada etika “jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain”, guru kembali mengajar dan bukannya mendidik, dan gue kembali hanya menggerutu di blog. Saat itulah kita menjadi pelaku.

images

No comments yet

Tinggalkan komentar